Contoh Makalah Pendidikan Filsafat
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam bab ini, Fazlur Rahman menyatakan ada 5 macam, yaitu
Al-Qur’an, Sunnah, Hadits, Ijtihad, Ijma’. Menurut Rahman, Al-Quran sendiri
menegaskan dan mengkonfirmasikan bahwa ia lahir di dalam hati dan pikiran nabi.
Konsepsi rahman tentang pewahyuan Al-Quran juga membuat ia menjelaskan doktrin
naskh. Ketika menerangkan ayat-ayat Al-Quran, ia mengemukakan bahwa nabi
Muhammad memang pernah memikirkan semacam kompromi seperti yang didesak
musuh-musuhnya, tetapi allah segera “menghapus” atau “membatalkannya”.
Konsekuensi lebih jauh dari pandangan rahman tentang wahyu Al-Quran
tercermin jelas dalam metodologi tafsirnya. Upaya untuk membedakan antara ide
keabadian dan karakter ilahiah al-quran dari ide keabadian kandungan legal
spesifiknya, melalui pendekatan historis yang ketat, adalah konsekuensi
langsung dari konsepsinya tentang wahyu Al-Quran.
Bagi rahman, tujuan Al-Quran adalah menegakan suatu tata sosial yang adil dan sederajat serta dapat bertahan di muka bumi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
saja sumber-sumber pemikiran hukum islam menurut fazlur rahman?
2.
Apa
saja system pendidikan pada masa fazlur rahman?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fazlur
Rahman tentang Sumber-Sumber Pemikiran Hukum Islam
1.
Al-Quran
Seperti kaum muslim pada umumnya, Rahman
mengakui dan meyakini bahwa Al-Quran merupakan kalam Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad dalam jangka waktu kurang lebih dua puluh tiga tahun. menurutnya,
“tanpa kepercayaan yang amat penting ini, tak satu pun bahkan yang dapat
menjadi seorang muslim nominal.” Tetapi
baginya, kepercayaan yang amat penting ini harus dijelaskan dengan memadai.[1]
Menurut Rahman, Al-Quran sendiri
menegaskan dan mengkonfirmasikan bahwa ia lahir di dalam hati dan pikiran Nabi.
Konsepsi Rahman tentang pewahyuan Al-Quran juga membuat ia menjelaskan doktrin
naskh. Ketika menerangkan ayat-ayat Al-Quran, ia mengemukakan bahwa Nabi
Muhammad memang pernah memikirkan semacam kompromi seperti yang didesak
musuh-musuhnya, tetapi Allah segera “menghapus” atau “membatalkannya”.
Konsekuensi lebih jauh dari
pandangan Rahman tentang wahyu Al-Quran tercermin jelas dalam metodologi
tafsirnya. Upaya untuk membedakan antara ide keabadian dan karakter ilahiah Al-Quran
dari ide keabadian kandungan legal spesifiknya, melalui pendekatan historis
yang ketat, adalah konsekuensi langsung dari konsepsinya tentang wahyu Al-Quran. Bagi Rahman, tujuan Al-Quran
adalah menegakan suatu tata sosial yang
adil dan sederajat serta dapat bertahan di muka
bumi. Tujuan ini telah didengungkan Muhammad sejak “sebermula kata”, dan
intensitasnya tak kurang dari intensitas ide monoteistis yang selalu terkait
secara organis dengannya. Bila orang mempelajari aspek reformasi sosial Al-Quran,
maka akan terlihat dua karakteristiknya yang nyata: Pertama, sebelum
memperkenalkan suatu ketetapan atau perubahan sosial, terlebih dahulu
dipersiapkan landasan yang kokoh baginya, barulah ketetapan itu diperkenalkan
secara bertahap. Kedua,
karakteristik diatas sangat penting kedudukannya dalam memahami
pendekatan historis-kronologis yang dicanangkan rahman dalam metodologi tafsir sistematisnya. Memang
rahman sangat menekankan pentingnya pemahaman terhadap konteks kesejarahan
dalam rangka memahami pesan seutuhnya Al-Quran.
2.
Sunnah
dan Hadits
Pandangan
Rahman tentang sunnah dan hadits dalam kenyataannya bersumber pada kajiannya
terhadap evolusi historis kedua konsep tersebut. Kajiannya dalam masalah ini,
sebagaimana telah diungkapkan, merupakan respon terhadap kontroversi yang
berkepanjangan mengenai sunnah dan hadits di anak benua Indo-Pakistan,
khususnya di Pakistan sendiri, dan terhadap situasi kesarjanaan Barat.
Kontroversi berkepanjangan tentang kedua konsep tersebut di Pakistan telah
diutarakan dalam bab-ban yang lalu; demikian pula halnya dengan respon Rahman
terhadapnya. Oleh karena itu, sebelum membahas konsepsi Rahman tentang sunnah
dan hadits, terlebih dahulu akan digambarkan secara singkat situasi kesarjanaan
Barat bertalian dengan kedua konsep tersebut.[2]
Ignaz Goldziher
dapat dikategorikan sebagai sarjana Barat yang melakukan studi kritis terhadap
evolusi hadits. Dalam karya monumentalnya, Muhammadanische Studien (vol.
2, 1890), ia mengemukakan bahwa fenomena hadits berasal dari zaman Islam yang
paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadits yang terus membengkak pada
masa-masa selanjutnya, dank arena dalam setiap generasi Muslim materi hadits
berjalan parallel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi yang
seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menentukan
hadits-hadits yang orisinal berasal dari Nabi. Sebagian besar materi hadits,
menurutnya lebih merupakan “hasil perkembangan religious, historis, dan sosial
Islam selama dua abad pertama,” atau refleksi dari tendensi-tendensi yang
muncul dalam komunitas Muslim selama masa-masa tersebut.
Di samping
Goldziher, sarjana terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje, juga mengadakan
penelitian terhadap evolusi hadits dan sampai kepada kesimpulan bahwa sunnah
(aturan-aturan normatif) yang terdapat di dalam berbagai hadits, dalam
kenyataannya merupakan postulat-postulat dogmatis kaum Muslim sendiri.
Menurutnya, keyakinan para pemimpin kaum
Muslim pada dua atau tiga abad pertama Islam bahwa setiap aturan yang
mesti diikuti masyarakat Muslim haruslah didasarkan pada sunnah Nabi.[3]
Hasil
penelitian Rahman tentang evolusi sunnah dan hadits, diringkasnya dengan jelas
dalm kutipan berikut ini : Kita temukan bahwa dalam sejarah (Islam) awal,
ijtihad dan ijma’ tidak hanya berkaitan secara intim antara satu
dengan lainnya, tetapi juga berhubungan dengan sunnah Nabi, yang
merupakan proses interprestasi dan elaborasi kreatif yang berlangsung
terus-menerus dengan diberi sanksi ijma’. Namun proses kreatif ini
terhenti, menciut secara perlahan hingga macet, ketika sunnah yang hidup
tersebut mullai ditempa ke dalam bentuk hadits dan dinisbatkan kepada Nabi.
Dalam proses ini, perbedaan pendapat internal mengenai masalah-masalah legal,
moral dan politik memainkan peran yang menentukan. Proses tersebut, yang
mungkin bermula di sekitar pengujung abad pertama dan kedua Hijriah, memperoleh
momentum yang dahsyat selama abad ke-2 dan membuahkan hasilnya pada abad ke-3
Hijriah. Demikian hebatnya kekuatan gerakan ini sehingga madzhab-madzhab hukum
yang mendasarkan pandangannya pada pemikiran bebas harus menerima pendapat
Al-Syafi’I bahwa sebuah hadits, meskipun terisolasi- hanya didukung olehsatu
mata rantai perawi-harus dipandang memiliki otoritas yang lebih tinggi dari
opini pribadi dan bahkan praktek (kaum Muslim) atau ijma’. . . .
3.
Ijtihad-Ijma’
Seperti gagasannya tentang Al-Qur’an
dan sunnah sebagai sumber hukum Islam, konsep Rahman mengenai ijtihad dan ijma’
juga didasarkan pada studinya terhadap evolusi kedua prinsip tersebut dalam
sejarah Islam awal. Di atas telah disinggung dalam kajiannya tentang evolusi
sunnah dan hadit, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah Nabi
dan aktivitas ijtihad-ijma’ . Baginya, ijtihad atau jihad intelektual
adalah”upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa
lampau yang berisi suatu aturan, dan untuk mengubah aturan tersebut dengan
memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa,
sehingga satu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi
yang baru.”[4]
Salah satu dorongan dasar yang
berada di balik penempaan teknis kualifikasi-kualifikasi ijtihad
tradisional adalah untuk menghindari pertumbuhan ijtihad yang tak terkendali. Baginya, ijtiad haruslah
merupakan upaya sistematis, komperehensif dan berjangka panjang : “Ijtihad
haruslah merupakan upaya berganda akal budi yang berpikir-beberapa di antaranya
secara alami akan lebih baik dari lainnya dalam berbagai bidang-yang berhadapan
antara satu dengan lainnya dalam suatu arena perdebatan terbuka, sehingga pada
akhirnya menghasilkan suatu consensus menyeluruh.
Ijtihad-ijtihad yang dilakukan atau
dihasilkan oleh para individu atau kelompok kerja, tentunya melalui prosedur
yang digariskan Rahman, akan mengkristal ke dalam bentuk ijma’(consensus
masyarakat) setelah melalui interaksi ide yang ketat. Gagasan Rahman tentang
ijma’ yang merupakan cerminan consensus masyarakat ini, sebagaimana telah
diungkapkan di atas, bersifat dinamis dan berorientasi ke depan.
Bagi Rahman, ijma’berkembng dari
sunnah Nabi, karena Nabi tidak hanya melakukan setiap usaha untuk menjaga
persatuan umat, tetapi juga menggalakkan dan mengupayakan kesatuan pemikiran
dan tujuan. Istilah Al-Qur’an, ‘syuraa’, merujuk kepada aktivitas
tersebut.
Gagasannya tentang ijtihad sebagai
upaya memahami Al-Qur’an dan sunnah Nabi secara sistematis, komperehensif dan
berjangka panjang, tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan gagasan-gagasan
modernism klasik, apalagi dengan pemikiran-pemikiran kalangan tradisionalis
ataupun fundamentalis. Sementara tentang ijma’, meskipun tidak jauh berbeda
dengan gagasan-gagasan modernism klasik di Indo-Pakistan, khususnya dengan
gagasan Amir Ali dan terutama Iqbal, namun elaborasi ijma’yang sistematis oleh
Rahman dengan mengaitkannya pada prinsip syuraa dan menghubungkannya secara
organis dengan ijtihad sebagai suatu proses yang menghadap ke depan serta
penegasannya bahwa ijma’ adalah consensus umat yang tidak monolitis, bersifat
lokal atau regional, dapat dikatakan sebagai suatu elaborasi yang sangat
orisinil, terutama jika dikaitkan dengan gagasan Rahman tentang ijtihad yang
sistematis dan komperehensif itu. Tentu saja, keseluruhan gagasan Rahman di
seputar ijtihad-ijma’ ini merupakan suatu pemberontakan sejati terhadap
gagasan-gagasan konvensional yang dikenal selama ini, seperti selalu
didengungkan oleh para ulama.
B.
Gagasan
Fazlur Rahman Atas Modernisasi Pendidikan Islam
Tujuan adalah suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan
pendidikan, suasana ideal tampak pada tujuan akhir yang biasanya dirumuskan
secara padat dan singkat seperti terbentuknya kepribadian muslim, kematangan,
dan integritas pribadi.[5]
Dalam pencapaian suasana ideal untuk mengambil kekuatan pendidikan
tidak hanya merujuk pada tujuan akhir saja, akan tetapi masih memerlukan
penjabaran yang lebih rinci kedalam bagian-bagian tertentu, yang diistilahkan
dengan tujuan khusus.
1.
Tujuan Pendidikan
Dewasa ini pendidikan Islam sedang
dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari tantangan pada masa
permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya suatu keinginan
dan pemikiran umat manusia yang berkepentingan dan mempunyai nilai lebih dengan
tuntutan hidup yang menyeluruh. Di tambah lagi dengan beban psikologis umat
Islam dalam menghadapi pengaruh globalisasi.
Fenomena tersebut menurut Syed
Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, telah menyuburkan tumbuhnya golongan-
golongan penekan. Golongan- golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari
orang-orang yang pikirannya lebih cenderung
kepada agama. Akibatnya muncul semacam ketegangan dan pertentangan
antara orang-orang yang mengutamakan keduniaan dengan orang-orang yang
mengutamakan agama dan telah menampakkan diri secara terang-terangan di
beberapa Negara seperti, Turki, Mesir, Pakistan dan Indonesia.
Fenomena itu pada gilirannya
mengakibatkan pendidikan Islam tidak di arahkan kepada tujuan yang positif,
akan tetapi cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat saja dan bersifat
defensif.[6]
Dalam kondisi kepanikan spiritual
itu, strategi pendidikan Islam yang di kembangkan di seluruh dunia Islam secara
umum bersifat mekanis. Akibatnya muncullah golongan yang menolak segala apa
yang berbau Barat, bahkan ada juga yang mengharamkan pengambilan alihan ilmu
dan teknologinya. Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut, maka akan dapat
menyebabkan kemunduran umat Islam. Menurut Rahman, ada beberapa hal yang harus
dilakukan: Pertama, tujuan pendidikan
Islam yang bersifat defensif dan cenderung berorientasi pada kehidupan akhirat
tersebut harus segera di ubah, yaitu dengan di orientasikan kepada kehidupan
dunia dan akhirat sekaligus, serta bersumber pada Al-Qur’an. Kedua, beban psikologis umat Islam dalam
menghadapi dunia Barat harus segera di hilangkan. Untuk menghilangkan hal
tersebut, Rahman menganjurkan supaya di lakukan kajian Islam yang menyeluruh
secara histories dan sistematis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu
islam seperti, teologi, hukum, etika, hadits, ilmu-ilmu social, dan filsafat.
Sebab, disiplin-disiplin ilmu islam yang telah berkembang itulah yang
memberikan kelanjutan kepada wujud pendidikan dan spiritual masyarakat Muslim.
Sehingga dengan hal itu diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis dalam
menghadapi dunia Barat. Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus di
ubah. Menurut Rahman, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah
penggunanya.[7]
Rahman juga
menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an, kata al-‘ilm (ilmu pengetahuan) di gunakan
untuk semua jenis ilmu pengetahuan. Dalam pandangan
Islam, ilmu merupakan suatu bentuk ibadah yang mendorong manusia untuk menjalin
hubungan yang lebih dekat dengan Allah. Sehingga, ilmu tidak di salahgunakan
untuk merusak iman dan moral, serta mendatangkan bahaya dan kehancuran.
2.
Sistem Pendidikan
Sistem tradisional kuno dalam Islam di dasarkan atas seperangkat
nilai-nilai yang berasal dari al-qur’an. Di lain pihak sistem modern yang tidak
secara khusus mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkanNya dalam
penjelasan mengenai asal-usul alam raya atau fenomena dengan mana manusia
selalu berhubungan setiap harinya.[8]
Akibatnya, di satu
pihak akan menghasilkan manusia yang di karuniai rasa ketaatan yang sangat
besar, sedangkan di lain pihak akan melahirkan sosok manusia yang beranggapan
bahwa tidak ada batasan atau akhir dari kemungkinan- kemungkinan di dalam dirinya
atau dia dapat membentuk sendiri kehidupan yang di jalaninya tanpa tuntunan
illahi.
Di tengah maraknya
persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk
menawarkan solusinya yaitu dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama
dengan ilmu-ilmu umum secara menyeluruh.
Dengan demikian di
dalam kurikulum atau silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu
umum seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, sejarah, dan ilmu-ilmu agama
seperti fiqih, kalam, tafsir, hadits. Adanya keseimbangan antara ilmu-ilmu
agama dengan ilmu-ilmu umum tersebut, menurut Hasan Langgulung, pada gilirannya
akan melahirkan spesialisasi pada bagian ilmu sesuai dengan periode
perkembangan, dan tingkat pendidikan kemudian hari sampai sekarang.
3.
Anak Didik (Peserta Didik)
Anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di
negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya dikotomi antara
ilmu-ilmu agama dengan belum
berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum
mengakibatkan rendahnya kualitas intelektual anak didik dan munculnya
pribadi-pribadi yang pecah (split personality). Bahkan yang
lebih ironis lagi dikotomi sistem pendidikan tersebut mengakibatkan tidak
lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang
mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebagian mereka
lebih berperan sebagai pemain-pemain teknis dalam masalah-masalah agama.[9]
Menurut Rahman, beberapa usaha yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut di atas. Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran
Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya
dijadikan sebagai sumber inspirasi moral tapi juga dapat dijadikan sebagai
rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari
yang semakin menantang. Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu
Islam secara historis, kritis dan menyeluruh. Disiplin ilmu-ilmu Islam
meliputi: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat.
4.
Pendidik (Mu’alim)
Pendidik dalam perspektif Islam mempunyai peranan yang sangat
penting dalam proses pendidikan. Sebab dialah yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak
didik.[10]
Pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua sendiri yang
bertanggung jawab penuh atas perkembangan kemajuan anak kandungnya. Karena
sukses anaknya merupakan sukses orang tuanya juga. Firman Allah SWT.:
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. 66:6). Dalam paradigma
Jawa, pendidik diidentikkan guru yang artinya “digugu” dan “ditiru”.
Namun dalam paradigma baru pendidik tidak hanya berfungsi sebagai pengajar
tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar mengajar. Hal ini
menghindari adanya benturan fungsi dan peranannya, sehingga pendidik dapat
menempatkan kepentingan sebagai individu, masyarakat, warga negara dan pendidik
sendiri. Antara tugas kependidikan dan tugas lainnya harus bisa ditempatkan
pada posisi yang sebenarnya.
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi yang semakin
pesat, maka kehadiran pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki
pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu itu sangat dibutuhkan. Untuk
mewujudkan pendidik yang profesional, dapat mengacu pada tuntunan Nabi saw
karena beliau satu-satunya pendidik yang paling berhasil dalam rentang waktu
yang begitu singkat.
Kesuksesan Nabi SAW sebagai pendidik didahului oleh bekal
kepribadian (Personality) yang berkualitas unggul dan kepeduliannya terhadap
masalah-masalah sosial-religius, serta semangat dan ketajamannya dalam iqra’bismirabbik.
Kemudian beliau mampu mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman dan amal
saleh, berjuang dan bekerjasama menegakkan kebenaran serta mampu bekerja sama
dalam kesabaran.
Untuk mendapatkan kualitas pendidik seperti itu di lembaga-lembaga
pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali. Hal ini dibuktikan Rahman,
melalui pengamatannya terhadap perkembangan pendidikan Islam di beberapa negara
Islam. Dalam mengatasi
kelangkaan tenaga pendidik rahman menawarkan beberapa gagasan : Pertama, merekrut dan mempersiapkan anak
didik yang memiliki bakat-bakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap lapangan agama (Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan
diberikan insentif yang memadai untuk membantu memenuhi keperluannya
dalam peningkatan karir intelektual mereka. Kedua, mengangkat lulusan
madrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah
memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di
lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar pada bidang studi bahasa
Arab, bahasa Persi, dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus dilatih di pusat-pusat studi keislaman di
luar negeri khususnya ke Barat. Keempat, mengangkat beberapa lulusan
madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka
dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan universitas
bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi mereka pelajaran bahasa Arab
dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti Hadis. Kelima, menggiatkan
para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan
memiliki tujuan. Di samping menulis karya-karya tentang sejarah, filsafat,
seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam.
5.
Sarana Pendidikan
Sarana yang berupa gedung dan perpustakaan amat erat hubungannya
dengan mutu sekolah. Sekalipun sederhana, tokoh-tokoh pendidikan Islam dahulu
sudah mengetahui pentingnya alat-alat bagi peningkatan mutu pendidikan. Sarana
pendidikan seperti perpustakaan pada masa pertengahan memberikan saham yang
besar bagi peningkatan kualitas lembaga pendidikan dan intelektual umat Islam. Perpustakaan
istana Fatimiyah Al Hakim di Mesir telah memiliki empat puluh ruangan, yang
penuh dengan buku. Perpustakaan- perpustakaan itu berisi buku-buku tentang
berbagai subyek kepustakaan, terutama ilmu-ilmu keislaman, kodrat, logika,
filsafat, dan sebagainya.[11]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sumber-sumber pemikiran hukum islam
menurut fazlur rahman ada tiga, yaitu al- qur’an, sunah dan hadis,
ijtihad-ijma. Untuk sumber pemikiran hukum islam yang pertama yaitu al-quran,
rahman telah mengakui dan meyakini al-quran adalah kalam Allah yang diwahyukan
kepada nabi Muhammad. Ia juga memandang bahwa al-quran yang menjadi sumber
hukum islam adalah prinsip-prinsip, nilai-nilai atau tujuan-tujuan moral
al-quran bukan teks harfiahnya. Selanjutnya, yaitu sunah dan hadis yang
kajiannya merupakan respon terhadap kontroversi mengenai sunah dan hadis dianak
benua indo-pakistan, khususnya Pakistan, dan situasi kesarjanaan barat. Hasil
penelitian rahman tentang sunah dan hadis, mengungkapkan bahwa sunah kaum
muslim awal (“sunah yang hidup “atau ijma”) merupakan kristalisasi interpretasi
kreatif (ijtihad terhadap sunah nabi).
Sedangkan hadis yaitu tidak lain dari refleksi verbal sunah yang hidup
tersebut. Maka dari itu sunah nabi eksis dalam hadis sebagaimana halnya dengan
sunah yang hidup. Kemudian tentang ijtihad –ijma, menurutnya ijtihad-ijma
memiliki akar yang kokoh dalam fenomena kesejarahan islam awal serta dalam
gagasan-gagasan modernism klasik, khususnya dalam konsep ijma sebagai lembaga
legislative.
Gagasan atas modernisasi pendidikan
islam menurut fazlur rahman meliputi tujuan pendidikan, system pendidikan, anak
didik (peserta didik), pendidik, dan sarana pendidikan.
[2]
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas
Pemikiran Fazlur Rahman, (Bandung:Mizan,1996), hlm.163.
[3]
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas
Pemikiran Fazlur Rahman, (Bandung:Mizan,1996), hlm.164.
[4]
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas
Pemikiran Fazlur Rahman, (Bandung:Mizan,1996), hlm.177.
[5]
Muhaimin. MA, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), hlm.103.
[7]
Muhaimin. MA, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, (Cirebon:Pustaka Dinamika,1999),hlm.106.
[8]
Muhaimin. MA, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan
Pendidikan Islam, (Cirebon:Pustaka Dinamika,1999),hlm.108.
[9]
Muhaimin. MA, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman: Studi Kritis Pembaharuan Pendidikan
Islam, (Cirebon:Pustaka Dinamika,1999),hlm.111.
[10]
Ibid, hlm. 112-113.
[11]
Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm.289.